Transcription

1

Daniel Mohammad Rosyid(Santri Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi)20 Mei 2018Padepokan Seni dan Bahari Gunung AnyarSurabaya1

Setahu saya ada dua orang radikal yang menjadi gurubagi banyak orang: Yesus dan Muhammad. Keduanyadengan jernih menyuarakan kebenaran pada saathoaxes di mana-mana: kebenaran dicampuradukkandengan kebatilan dan kebenaran disembunyikan darikesadaran publik. Suara kebenaran yang jernih itumeneror elite yang kehidupannya bersandar padahoaxes.2

Pengantar KataRumah PenelehMalam itu, sekitar 100 tahun lalu, menjelangsubuh, Pak Tjokro melihat Karno, Karto dan Musomasih tertidur pulas. Seperti pagi-pagi lainnya sebelumini, dia bisa saja menggorok leher ketiga anak mudayang kos di rumahnya di Peneleh, Surabaya itu, lalumenikmati kehidupan mapan priyayi Jawa di HindiaBelanda.Tapi Pak Tjokro mengambil resiko membiarkanketiganya hidup untuk kemudian bermimpi tentangsebuah negeri baru yang berbeda dengan yang memanjakannya ini. Keputusannya -sebagai mentor parapendiri Republik ini- diiringi rasa cemas yang takterelakkan. Negeri baru di tanah yang begitu bhinnekaakan senantiasa didera ketegangan untuk tetap tunggalika.Jika Karno hanya kuliah di ITB saja, pastilah diabakal jadi arsitek hebat. Perjumpaannya dengan PakTjokro di Peneleh itulah yang membuatnya kelakmenjadi proklamator.Kini Rumah Peneleh itu makin tua dan tidakterawat. Makin pengap dan sumpek. Jangankan berdemonstrasi, berpikir bebas saja menghadapi intimidasi.3

Semuanya yang penting bagi kehidupan berbangsa danbernegara sudah selesai; harganya sudah mati.Saya menolak membiarkan rumah itu roboh.Apapun yang terjadi.Daniel Mohammad Rosyid4

PendahuluanPasca1998:Surplus Fanatisme, Difisit AkalRocky Gerung(Aktivis Forum Demokrasi pada 1990-an)Tugas pemerintah adalah memberi rasa aman warga,bukan mengeksploitasi ketakutan dengan cara yangjuga menakutkan."The middle ground is a notoriously exposed,dangerous, and ungrateful position". — Isaiah Berlin5

Negeri ini didirikan dengan pikiran bermutu:bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Supayapenjajahan tak berulang, maka bangsa ini harus cerdas.Karena itu, mencerdaskan kehidupan bangsa adalahtugas utama pemerintah. Demokrasi adalah fasilitasuntuk menyelenggarakan kemerdekaan berpikir, yaitukondisi yang diperlukan untuk menumbuhkan kecerdasan. Tetapi justru kondisi itu yang tak tersediaselama dua era sejarah politik kita.Orde Lama dan Orde Baru; dua-duanya memusuhipikiran. Sukarno tak menyukai “kaum intelektual”. Iamencerca mereka sebagai “textbook thinking” kebaratbaratan. Soeharto membungkam kebebasan berpendapat, dan menjadikan “kaum intelektual” sekadar“teknokrat” untuk menjalankan pembangunan. Akumulasi kekuasaan adalah akibat dari takluknya pikiran kritis.Keangkuhan NegaraReformasi adalah pulihnyakritisisme. Kekacauan ekonomi bertemu dengan retaknya resim Soeharto. Teknokrat mundur karenamelihat perintah politik Cendana makin mengacaukanrasionalitas kebijakan kabinet. Nepotisme menjadibeban ekonomi. Tentara memutuskan mengambiljarak dari kekuasaan, memungkinkan mahasiswamenempati ruang oposisi yang lebih frontal. Tumbuhkesadaran baru tentang pentingnya hak asasi manusia,reformasi TNI, dan pemberantasan korupsi.Semua itu adalah modal etik yang kuat untukmemulai “Indonesia Baru”. Itu dua puluh tahun lalu.6

Sekarang? Setiap Kamis sore, deretan payung hitamberbaris diam di depan Istana Presiden. Tidak untukantre sembako, apalagi berharap jabatan komisarisBUMN, melainkan cuma menuntut pemenuhan hakasasi manusia dari negara yang seharusnya beradab.Tapi rutinitas Aksi Kamisan itu kalah pamordengan aktivitas hilir-mudik presiden untuk guntingpita dan bagi-bagi sembako. Ada jarak antara Istanadan Pegunungan Kendeng; ada pagar antara presidendan para keluarga korban penghilangan paksa; adaketidakadilan yang tidak ingin dipahami negara. Adaapa dengan negara?Penjelasan pemerintah pasti panjang, dan berbelit.Yang pendek adalah pikiran politiknya: “SingkirkanHAM, Stabilitas yang Penting”. Itulah watak dasarpenguasa. Rangkaian teror memang menakutkan,tetapi penyingkiran HAM jelas-jelas adalah proposalOrwellian yang berbahaya.Reformasi tidak dimaksudkan untuk menyelundupkan mental otoriter Orde Baru. Reformasi tidak disediakan untuk mengawasi gerak-gerik seluruh warga.Tugas pemerintah adalah memberi rasa aman warga,bukan mengeksploitasi ketakutan dengan cara yangjuga menakutkan.Tetapi ajaib. Justru demagogi semacam itulahyang kuat didukung oleh kaum “intelektual pro statusquo”. Sekadar demi melanjutkan dendam politik, akal7

sehat dikesampingkan dan insinuasi dikedepankan:“Kami Pancasila!” Tentu, tapi artinya? Apa ukurannya?Siapa yang bukan-Pancasila?Gugup dan gagap, kaum “liberal” juga memeliharaarogansi yang sama: “Pancasila sudah final!”. Dandengan arogansi itu Pancasila diedarkan dari satuseminar ke seminar yang lain untuk didiskusikan.Mendiskusikan sesuatu yang sudah final? Ajaib! Inilahkaum “liberal paranoid” yang mendadak konyol karenaberangsur jadi pemuja kuasa, dan mulai menghitunggiliran berkuasa. Mereka gagal melihat hutan karenasibuk menghitung pohon.Bagaimana demokrasi hendak dimajukan bilapikiran kaum intelektual menjadi konservatif? Bagaimana hak asasi manusia hendak diselenggarakan bilatabiat kaum liberal menjadi oportunis?Ada pikiran yang berhenti di era ini. Konfrontasipolitik sejak Pemilu 2014, yang berlanjut pada PilkadaDKI Jakarta 2017, bukan saja telah membelah masyarakat politik, tetapi juga mendangkalkan kaum terpelajar: bergerombol di forum-forum media sosial,menumpuk sentimen, lalu terengah-engah memusuhioposisi.Hanya demi ketakutan kehilangan afiliasi dengankekuasaan, para aktivis masyarakat sipil meninggalkanfungsi kritik sosialnya, lalu berbaris mencari suaka di8

Istana. Tak masuk akal, aktivis masyarakat sipilbergerombol di sekitar kekuasaan yang anti-HAM.Mental feodal telah mengubah akademisi menjadipelayan birokrasi, menanggalkan ide dan pikiran. Inilahera ketika elektabilitas mengepung intelektualitas, eraketika para pengajar menjadi pemuja status quo.Kekurangan pikiran—itulah sinopsis reformasi hariini."The middle ground”—Isaiah Berlin (1909-97)memilih istilah itu setelah ia mempelajari sejarah pikiranEropa yang membawa banyak penderitaan manusia padaabad lalu. Bahwa ketakcukupan perspektif telahmenjerumuskan orang ke dalam fanatisme politik,kepicikan dan pemujaan. Suatu “pathological suspicion”,dalam istilah Berlin, juga ada pada kita hari-hari ini.Kita hidup dalam situasi saling intai, dan bereaksisebelum duduk perkara dipahami utuh. Perbedaanjustru dieksploitasi dengan memojokkan suatu golongansebagai kaum fundamental, dan yang lain sebagaipenjaga NKRI. Negara justru menguatkan stigma inimelalui public relation yang insinuatif: “Tidak adatempat bagi kaum intoleran”. Negara telah membuatdefinisi yang justru patologis, membangkitkan lukaluka ideologis di masa lalu. Keakraban berwarganegaradihilangkan oleh keangkuhan negara.Kaum intelektual, akademisi, dan aktivis masyarakatsipil yang berhenti mempersoalkan kekuasaan adalah9

para medioker yang patuh karena tak paham, dantakluk karena tak cukup berakal. Kritik tak mampudiucapkan oleh seorang medioker. Politik yang absolutisjuga dapat berlangsung dalam era transisi demokrasiketika kaum medioker berbondong-bondong menujuIstana, bukan untuk memberi kritik, tetapi untukmematuhkan diri kepada kekuasaan.Sekadar dipakai untuk “public relation”, tokohtokoh masyarakat sipil dari sektor agama dan kebudayaan juga memperkuat barisan “the middle ground”ini. Pluralisme adalah umpan politik yang denganmudah dilahap barisan ini, karena kekuasaan memilikiseluruh perangkat untuk memaksimalkan kecemasan“kaum minoritas”. Setiap kali terjadi konflik sosial,pemerintah datang dengan solusi moral: kumpulkanpemuka agama.Toleransi menjadi proyek ideologis negara, kendatidalam pengertian yang sangat sempit, yaitu sekadartoleransi di antara umat beragama. Bahwa sumberketegangan sosial itu adalah disparitas dan kesalahankebijakan pemerintah, tak ingin diakui.Esensi KritikKritik adalah evaluasi pikiran terhadaprealitas, yaitu mengurai inkonsistensi kebijakan. Inkonsistensi dalam kebijakan pertama-tama harusdimulai dengan memeriksa inkoherensi dalam ide.Karena itu fungsi kritik adalah mengurai, bukanmembangun. Itulah tugas utama akademisi.10

Jadi, tuntutan agar kritik itu harus “yang membangun” adalah tuntutan dari mereka yang tak ingindikritik. Hakikat kritik adalah menunjukkan kesalahan,bukan memperbaikinya. Adalah tugas yang dikritikuntuk memperbaiki konsepnya.Dalam urusan publik, tugas si pejabat publikuntuk memperbaiki kebijakan, karena ia digaji rakyatuntuk itu. Demokrasi hidup dengan kritik. Tugasoposisi sudah dimulai sejak presiden dilantik. Karenaitu, ide mengganti presiden memang melekat padatugas oposisi. Itu bukan saja konstitusional, tapimemang logis: sungguh dungu bila oposisi berniattidak mengganti presiden. Karena itu, mengaktifkanoposisi, justru menjamin kekuasaan tidak menempuhtradisi primitifnya: pongah.Lalu, apakah kita pesimistis dengan keadaan? Takperlu dijawab, karena politik bukan klinik psikologi.Yang perlu diperhatikan adalah kondisi psikologi darikaum terdidik yang justru menjadi pemuja kekuasaan.Dalam isu mutakhir hari ini, yaitu tentang usulanagar pemerintah segera mengeluarkan peraturan perundang-undangan soal terorisme, pendukung utamausulan ini adalah justru kalangan terdidik dan aktivismasyarakat sipil pro pemerintah. Sungguh absurdbahwa kebijakan yang akan melemahkan demokrasi,justru dibela oleh kalangan yang mengerti hakikatdemokrasi: bahwa tak sekali-kali mengizinkan penguasa11

memutuskan atas kehendak sendiri, aturan yang potensial membatalkan demokrasi.Di depan kekuasaan, para tokoh masyarakat sipilpatuh karena fanatisme. Kalangan terpelajar patuhkarena kekurangan pikiran. Dan merekalah yang kinimenyelenggarakan public relations pemerintah. Ajaib,tapi itulah sinopsis politik kita setelah 20 tahunreformasi: surplus fanatisme, defisit akal. [21 Mei2018]. 12

Meme Pembubaran HTIAwal Mei 2018 ini meme yang memuat foto dankomentar saya soal pembubaran HTI telah viral dimedia sosial. Sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS),Senin 7/5 malam saya telah dipanggil oleh pimpinanITS untuk menjelaskan posisi saya soal meme tersebut.Meme poster tersebut memuat komentar pendek sayasoal kasus pembubaran HTI seminggu sebelumnya.Dalam meme tersebut saya disebut sebagai Guru BesarITS dengan berbagai tagar yang mudah mempersepsisaya sebagai pendukung HTI atau bahkan anggotaHTI, lalu ITS adalah sarang HTI. Luar biasa.Selama setahun terakhir ini saya memang banyakberinteraksi dengan penggiat HTI dalam beberapadiskusi. Di rumah saya punya beberapa "buku wajib"HTI. Terakhir bahkan saya undang kawan-kawan sayauntuk membedah sebuah disertasi tahun 2000-an diLondon School of Economics dengan judul "TheInevitable Caliphate". Seorang kawan dari JPIP ikutmembedah disertasi tersebut secara kritis. Temanteman HTI berusaha keras meyakinkan saya dan istrisaya tentang peran penting khilafah. Saya dan istrisaya sudah sejak lama percaya khilafah, namun denganpemahaman yang berbeda dari versi HTI. Bagi saya,khilafah baru yang disebut Imam Mahdi hanya bisahadir di atas reruntuhan Kerajaan Arab Saudi.Sebagian pemahaman saya ini telah saya tulis dalam13

sebuah artikel di Jawa Pos serta dalam beberapa portalberita seperti Cakrawarta.Bagi saya saat ini, ummat manusia berada dalamkhilafah Pac Americana dengan Obama, lalu Trumpsebagai khalifah. Khilafah adalah satu bentuk TataDunia (World Order) dengan berbagai instrumenteknokratiknya seperti PBB beserta lembaga-lembagadi bawahnya seperti the World Bank dan InternationalMonetery Fund. Bagi saya, dunia saat ini dibawahkhilafah yang dzalim yang sewenang-wenang ataskebanyakan ummat manusia. Pancasila tidak mungkinhidup subur dalam ekosistem Tata Dunia semacamini. Inilah yang menjelaskan mengapa Pancasila telahdipaksakan secara semu saat Orde Baru, dan hampirsaja dibuang saat Reformasi. Seperti peringatan BungKarno, saat ini praktis kita sudah mengalami penjajahanbaru. Penjajahan remotely controlled melalui sistemekonomi dan keuangan global ribawi. Oleh BungKarno ini disebut nekolim.Saya menolak Perpu Ormas karena saya nilai sebagaititik masuk bagi otoriterianisme yang akan dipakaiuntuk mengontrol pikiran orang. Setelah sistempersekolahan banyak membuat warga muda dungu,UU Ormas ini akan memperparah kedunguan ini.Kampus bagi saya adalah a market place of ideas.Mahasiswa perlu berlatih memahami berbagai pikiranmendasar mengenai realitas kehidupan berbangsa danbernegara agar pantas menjadi pemimpin bangsa di14

masa depan. Menentang UU Ormas ini adalah perangmelawan kedunguan.Sebagai dosen PNS saya sudah lama tidak memposisikan diri sebagai pegawai, tapi sebagai profesional.Sebagai profesor saya juga diberi tunjangan kehormatan.Saya tidak tahu persis alasan mengapa profesor berhakatas tunjangan kehormatan ini. Saya juga pernahmenjadi Ketua Persatuan Insinyur Indonesia CabangSurabaya. Saat ini saya duduk menjadi anggotaMajelis Kehormatan Etik PII Pusat. Setahu saya, paraprofesional bukan bekerja bagi siapa membayarnya.Dia melayani publik untuk kebajikan publik. Kemarinmalam oleh manajemen puncak ITS saya telahdiposisikan sebagai pegawai.Saya lama berkeyakinan bahwa universitas adalahlembaga yang istimewa karena berhak memberi gelarsarjana bahkan doktor. Lembaga lain tidak punya haksemacam ini. Gelar itu disebutkan dalam ijazah. Ijazahini kosa kata Arab yang memiliki akar kata yanghampir sama dengan kata mu'jizat. Setiap sarjana yangkami didik di ITS diharapkan dapat membuat banyakmu'jizat bagi masyarakatnya. Mu'jizat itu perkaraistimewa bagi yang tidak berilmu, tetapi perkara biasabagi sarjana.Senin malam 7/5/2018 malam saat saya -sebagaiprofesional- diminta mencabut komentar saya yangviral itu saya menolak karena tidak mampu tidakkonsisten dengan hati nurani saya yang telah saya15

tuliskan dalam beberapa media. Saya segera ingat satuketika (1983) sebagai Ketua Musholla ITS saya dimintamenarik kembali buletin Musholla ITS oleh pimpinanITS waktu itu. Permintaan itu juga saya tolak karenasudah terlanjur beredar bagi pengunjung pada saatPameran Buku dan Busana Muslim di sekitar Perpustakaan ITS waktu itu. Dalam buletin itu ada foto"masjid ITS" yang terlantar pembangunannya danfoto seorang mahasiswi berjilbab serta wawancarawartawan Buletin Musholla dengan seorang mantanKetua Dewan Mahasiswa ITS.Malam ini saya teringat almarhum ayah saya, Mr.Ibrahim Ibnu Djamhuri, seorang pengacara alumniUGM yang jadi pedagang yang telah wafat 25 tahunsilam. Semula dia jaksa, lalu diasingkan untuk ngurusisebuah pabrik minyak kelapa yang bangkrut di dekatPelabuhan Tanjung Emas. Diasingkan karena secaraterbuka dia menolak untuk memuja Soekarno dipuncak kekuasaannya.Di ruang tamu rumah kami di Semarang terpampang sebuah lukisan cat minyak Abraham Lincoln.Ayah saya itu -seorang Masyumian- adalah pengagumberat Abraham Lincoln -seorang Yahudi. Keduanyaadalah sarjana hukum. Anehnya, ayah saya berpesan"kelak jadilah dokter atau tentara. Jangan kuliah diFakultas Hukum bengkok".16

Membangun Masyarakat BebasMencermati lintasan kehidupan demokrasi di manapun di dunia saat ini, apa yang sedang terjadi diIndonesia juga terjadi di pusat kampiun demokrasi AS,yaitu pengorbanan kebebasan sipil (civil liberty) demialasan keamanan. Teror adalah cap yang sering disematkan oleh pemerintah pada aksi kekerasan yangdilakukan oleh sekelompok orang terduga teroris.Sedangkan aksi kekerasan Pemerintah yang dilakukanatas sekelompok orang yang terduga teroris tidakdisebut teror tapi disebut aksi anti-teror. Makin jelasbahwa isu teror adalah isu yang politis yang saratkepentingan kekuasaan. Teror artinya mengancammasyarakat sipil sedangkan anti-teror adalah melindungimasyarakat sipil. Padahal korbannya sama saja: masyarakat sipil juga, termasuk warga yang terduga teroris.Hanya dengan menduga saja, Pemerintah punya alasanuntuk melakukan aksi kekerasan terhadap masyarakatsipil. Korbannya adalah warga terduga teroris.Tentu teror oleh warga itu ada walaupun harusdijelaskan tidak secara simplistik seperti karena alasanideologi radikal. Aksi kekerasan bisa bermotif ekonomi,sosial dan politik. Mengatakan bahwa aksi teror selaluideologis adalah menyesatkan. Demikian ulasan Prof.Din Syamsuddin baru-baru ini. Peristiwa penembakandengan korban tewas belasan murid di Santa Fe,Texas, oleh Dimitrios Pagourtzis (17) baru-baru initidak disebut teror walaupun peristiwanya serupa.17

Kejadian penembakan massal oleh warga sipil telahterjadi di AS untuk kesekian kalinya.Mencermati peristiwa-peristiwa kekerasan selama20 tahun terakhir, John Pilger -seorang jurnalis asalAustralia- baru-baru ini mengatakan bahwa yang palingdikorbankan dari isu global terorisme adalah ummatIslam. Bagi Pilger, tidak ada perang melawan teror.Yang ada adalah aksi kekerasan dengan menggunakanalasan terorisme. Artinya terorisme digunakan untukmembenarkan aksi kekerasan oleh Pemerintah yangberkuasa atas warganya sendiri. George Bush mengumandangkan war on teror untuk membenarkan aksikekerasannya ke Iraq dan Afghanistan dengan korbantak-terhitung.Saya cemas UU Anti Terorisme yang baru akanmenjadi justifikasi tuntas bagi aksi kekerasan olehPemerintah atas warga negaranya sendiri. MenkopolkamWiranto baru-baru ini bahkan mengatakan bahwamasyarakat tidak perlu tahu rincian operasi anti-terorini karena justru akan membuka kerahasiaan aksikekerasan oleh Pemerintah ini.Aksi teror sering dirumuskan sebagai wujud daripemikiran radikal. Artinya terorisme selalu disebabkanoleh sebab tunggal: ideologi radikal. Teroris seringdisamakan dengan radikalis atau fundamentalis. Pikiranyang berbeda dengan pikiran pemerintah -pikiran arusutama- disebut pikiran radikal. Untuk itu, Pemerintahtelah punya UU Ormas untuk merontokkan pikiran18

yang berbeda dengan pikiran Pemerintah. Apalagi jikapikiran yang berbeda dengan pemerintah ini berkembang terorganisir dalam ormas tertentu. Pemerintahtelah memperkarakan sebuah Ormas Islam yang didugamelanggar UU Ormas karena pikiran dan kegiatannyadinilai bertentangan dengan pikiran PancasilaisPemerintah.Untuk memahami wacana ini ada baiknya kitamerujuk pada statistika. Di dunia normal, selalu adaarus utama mayoritas dan arus pinggiran minoritas.Lihatlah kurva normal. Jika ekor kanan dan ekor kirikurva normal ini dipotong, maka tidak ada kurvanormal lagi. Dalam perspektif ini, sikap Pemerintahcenderung menentang prinsip-prinsip alam (sunnatullah) karena pikiran-pikiran sempalan adalah bagianwajar dari normalitas. Jika dia diberangus maka justruakan terjadi situasi abnormal. Seperti terorisme dijadikanalasan Pemerintah untuk melakukan kekerasan ataswarganya sendiri, radikalisme dijadikan alasan pemerintah untuk membungkam kebebasan berserikat danmenyatakan pendapat warganya sendiri.Baru-baru ini, Rex Tillerson ex Menlu AS eraTrump, mengatakan bahwa di tengah krisis etika danintegritas para elite, harus dicatat bahwa unsur utamadalam sebuah masyarakat yang terdiri dari warga yangbebas adalah akses pada kebenaran. Ini memerlukanpemerintah dan masyarakat yang memahami bahwakebebasan untuk mencari kebenaran adalah intisari19

dari kebebasan itu sendiri. "Kalian harus tahu kebenarandan kebenaran itu akan membuatmu bebas". Hanyadengan habis-habisan mempertahankan kebenaran,kita bisa menciptakan sebuah masyarakat bebas, dandemokratis yang terdiri dari warga yang majemuksehingga warga majemuk ini dapat mencoba berbagaigagasan untuk menemukan solusi atas persoalankompleks yang dihadapi oleh masyarakat demokratis.Pada saat seseorang dan sekelompok orang mudahsekali dituduh anti-Pancasila oleh Pemerintah, Sayacemas, UU Ormas dan UU Anti-teror adalah tantanganpaling serius atas upaya membangun masyarakatdemokratis yang bebas yang justru menjadi alasanmengapa Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa ini 73 tahun silam. Sayabenar-benar cemas. Kiranya Allah Tuhan YMEmenolong bangsa ini.Matinya Tukang KritikSuatu ketika Bennedict Anderson berkisah tentangpengalamannya memberi kuliah umum di UniversitasChulalongkorn, Thailand. Pada audiensnya waktu itu-para dosen, guru besar dan mahasiswa pascasarjana- diabertanya tentang seorang sutradara terkenal asal Thailand -yang film-filmnya tentang masyarakat Thailandtelah memperoleh berbagai penghargaan internasionalpada para audiensnya tsb, apakah mereka mengenal20

tokoh tersebut. Hanya satu orang mahasiswa pascayang mengacungkan tangannya. Yang lain hanyabertanya-tanya who the hell he is. Ben Andersonkemudian mengambil kesimpulan bahwa universitasuniversitas Thailand seperti banyak universitas di negaraberkembang lainnya mengalami sebuah proses yangdinamainya profesionalisasi, lalu kehilangan banyakintelektual publik. Para profesor sibuk menekuni bidangspesialisasinya yang makin sempit dengan bahasa yanghanya bisa dipahami diantara mereka sendiri tapi tidakdipahami oleh masyarakatnya.Menurut kamus Webster, yang disebut intelektualpublik adalah seorang intelektual -yang dikenal sebagaiahli di bidang spesialisasi tertentu - yang dikenalmasyarakat luas karena sering menunjukkan kesediaanuntuk memberi pendapat atau komentar atas peristiwaperistiwa menarik mutakhir apa saja yang terjadi dimasyarakat. Komentar itu muncul bisa melalui sebuahwawancara dengan wartawan atau melalui tulisanopini bebas di koran atau portal berita online. Seorangintelektual publik biasanya menyodorkan pandanganyang berbeda dengan pandangan arus utama ataupandangan pemerintah. Pandangan intelektual publikini sering kali juga kontroversial, tidak lazim, tapimencerahkan karena mampu menunjuklan perspektifbaru atas sebuah realita. Para intelektual publik seringjuga disebut tukang kritik, dissenter, atau bahkandissident (pemberontak politik). Pada saat ini Prof.21

Noam Chomsky dari MIT adalah intelektual publikpaling kesohor di AS dan sering tampil sebagaidissident paling tajam atas kebijakan luar negeri AS.Intelektual publik Indonesia yang makin kesohor hariini adalah Abdus Shomad dan Rocky Gerung.Sekitar 8 tahun silam, saat sesi presentasi sebagaicalon guru besar di bidang Riset Operasi dan OptimasiTeknik Kelautan ITS, saya ditanya oleh seorang gurubesar senior mengapa saya lebih banyak menulistentang pendidikan daripada teknik kelautan. Sayajawab bahwa itu terjadi karena kecelakaan sejarah : sayadiminta oleh pak Imam Utomo Gubernur Jatim waktuitu untuk mau menjadi Ketua Dewan PendidikanJawa Timur yang pertama sejak UU Sisdiknas berlaku.Sampai sekarang saya tidak tahu persis mengapabukan ahli pendidikan yang beliau tunjuk.Tempo hari melalui WA saya diminta pendapatoleh seorang pegiat Ormas Islam yang sedang mengajukan gugatan atas pembubarannya oleh Pemerintah.Saya jawab demikian : "Pencabutan BHP HTI olehPemerintah jelas mengada-ada dan sebuah upaya untukmenekan kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat, sambil mengaburkan ancaman yang sebenarnyasudah dan sedang terjadi atas NKRI, yaitu neokolonialisme. Jadi tindakan sewenang-wenang Pemerintahatas HTI itu adalah intentionally crafted hoax sambilmenyembunyikan kebenaran dari kesadaran publik".Pendapat saya tsb kemudian dikemas menjadi meme22

viral yang kemudian dibaca oleh publik bahwa sayaadalah pendukung HTI.Beberapa hari kemudian, sebuah koran nasionalmemberitakan bahwa pejabat tertinggi di KementrianRistekdikti telah memecat tiga dosen ITS yang tersangkut kasus HTI ini. Rektor ITS segera menggelar persrelease untuk meluruskan apa yang sebenarnya sedangdilakukan oleh ITS atas ketiga dosen tersebut. Ternyataketiga dosen tersebut sedang diproses, mungkin menujupemecatan mereka.Setelah Normalisasi Kehidupan Kampus hampir40 tahun silam, kemudian UU Ormas, UU Antiterror, lalu release Daftar Da'i oleh KementrianAgama baru-baru ini, saya membayangkan akan lahirregulasi Normalisasi Masjid. Saya berharap tidakbanyak intelektual publik yang akan mati lagi.Pancasila dan KhilafahSaya menerima Pancasila seperti rumusan almarhum Nurcholish Madjid: kalimatin sawaa-in, platformkehidupan bersama masyarakat yang bhinneka tunggalika di dalam susunan negara Republik Indonesia yangberkedaulatan rakyat. Penerimaan saya ini sekaligussebagai penghormatan atas kesepakatan Bung Karno,Bung Hatta dkk para pendiri bangsa Indonesia ini.23

Namun harus segera diingat bahwa Pancasila danRepublik Indonesia adalah narasi, atau fiksi ala RockyGerung. Keduanya hanya ada dalam pikiran dankesadaran sebagai kompleks gagasan, narasi dan citacita. Pancasila dan Indonesia tidak pernah dalam kondisiselesai, in factu, tapi selalu dalam proses menjadi in statunascendi. Ini sebuah proses kreatif dinamis yang rapuh,getas, dan genting, namun penting. Menjadikan NKRIsebagai harga mati, misalnya, justru menolak its veryessence.Salah satu bukti RI dalam kondisi in statu nascendiadalah gagasan RI Serikat dan Deklarasi Djoeanda1957 yang mendeklarasikan Indonesia sebagai negarakepulauan yang berbeda dengan saat diproklamasikanBung Karno dan Bung Hatta. Jika Romo Mangunmenilai NKRI adalah mitos, maka Saya membaca desentralisasi sebagai tahapan menuju NRIS. RIS menurut hemat saya lebih sesuai dengan kondisi geografiskepulauan dengan mega diversity dalam bentang alamseluas Eropa ini.Jadi yang mengancam eksistensi Pancasila bukanOrmas Islam tertentu, atau dosen seperti saya, tapipengalaman hidup berPancasila yang getir, pedih penuhpenderitaan, ketakutan, kemiskinan, serta ketimpangansosial dan spasial. Kita tidak bisa begitu saja mewariskan Pancasila dan Indonesia seperti segumpal emas,tapi perlu mendialogkannya dalam wacana danpraktek berkehidupan berbangsa dan bernegara yang24

bebas. Iklim kebebasan itu penting agar generasi mudamerasa ikut merumuskan dan menarasikan kembaliPancasila dan Indonesia dalam semua zaman. Agarkeduanya tidak menjadi artefak museum yang menariktapi tidak relevan lagi bagi setiap generasi. Ini prosesyang fragile dan menegangkan tapi tak terelakkan.Bagi saya, nilai-nilai Pancasila yang digali olehBung Karno dalam kesadaran bangsanya hidup suburselama kekhalifahan Islam hingga awal abad 20. Jadikekhalifahan Islam itu memberi lahan dan udara yangsubur bagi tumbuh kembang Pancasila. Justru setelahproklamasi kemerdekaan 17/8/1945 Bung Karno dkkmenemukan lahan dan udara neoliberal yang tandusbagi Pancasila. Bahkan Bung Karno dijatuhkan olehkekuatan-kekuatan nekolim. Orde Baru praktis memantabkan neokolonialisme di Indonesia. Reformasi sebagian lahir karena kita sebagai bangsa justru menderitadalam nekolim yang telah mengerdilkan Pancasila.Prinsip kekhalifahan sebagai Tata Dunia atau internasionalisme sudah disadari oleh perumus Pembukaan UUD 45 dan oleh Bung Karno diadopsi dalamsila kedua "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab". Inimerupakan inti sari dari alinea pertama Pembukaan :kehendak untuk merdeka dari penjajahan karenabertentangan dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan. Bagi saya kekhalifahan itu adalah Tata Dunia :global governance dengan semua instrumen teknokratiknya di bawah PBB seperti perjanjian-perjanjian25

perdagangan, sistem keuangan, upaya memerangi perubahan iklim, pembatasan senjata nuklir, kemaritimandsb. AS adalah salah satu negara maju yang tidakmeratifikasi banyak perjanjian-perjanjian internasionalitu dan dengan demikian memposisikan dirinyaabove the law. Untuk upaya menghentikan perubahaniklim dan kesepakatan Nuklir dengan Iran, misalnya,PBB telah ditelikung oleh AS.Bacaan saya atas sejarah dunia selama 100 tahunterakhir ini adalah dunia semakin tidak berperikemanusiaan dan tidak berperikeadilan sejak runtuhnyakekhalifan Turki Ottoman. Sejak itu, selama kekhalifahan Pac Brittanica di bawah Winston Churchillkemudian Pac Americana di bawah Donald Trumpkita menyaksikan konsistensi kita sebagai negara miskindengan ketimpangan global yang makin parah, duniaterjerumus dalam perang illegal berkepanjangan, keruntuhan ekosistem dan ancaman perang nuklir di dekadekedua abad 21 ini.Ancaman pada Pancasila dan NKRI tidak datangdari ormas-ormas Islam tertentu dan komentar darisegelintir orang seperti saya, tapi oleh sekelompok elitekorporasi AS dan sekutu global maupun domestiknyayang sikapnya tidak saja telah mengerdilkan Pancasila,tapi langsung mengancam eksistensi spesies kita demiekonomi perang yang didorong military industrialcomplex.26

Secara matematika, bagi NKRI yang berdaulat,Pancasila itu adalah syarat perlu (necessary condition),sedangkan syarat cukupnya (sufficient condition)adalah tata dunia (khilafah) yang disusun menurutIslam.Surabaya MenggugatSaat ini saya di Semarang sedang menunggu pemeriksaan Tim Adhoc Etik Senat Akademik ITS ataskasus penyebaran meme pembubaran HTI viral yangmengutip pernyataan saya soal itu. Saya belum tahudakwaan apa yang akan ditujukan ke saya atas kasusini: pendukung HTI yang ingin mengubah dasarnegara Pancasila ? Pelanggaran UU Guru dan Dosen ?Pelanggaran disiplin PNS ?Saya akan sampaikan pikiran-pikiran saya dalamkolom ini. Saya berharap pemeriksaan atas saya tersebutterbuka untuk umum. Saya pandang proses pemeriksaan terbuka ini penting menjadi pelajaran bagisaya pribadi, mahasiswa-mahasiswa saya, ITS, alumnialumninya dan masyarakat umum. Jelas sidang pemeriksaan atas saya itu tidak bakal sefenomenal sidangatas Soekarno sekitar 88 tahun silam dengan judul"Indonesia Menggugat" di hadapan pengadilanLandraad Belanda di Bandung. Namun saya menilaibahwa pemeriksaan ini lebih bersifat politis dari padapemeriksaan etis apalagi teknis.27

Pertama, Saya memandang diri saya lebih sebagaiprofesional -lihat UU Guru dan Dosen 2005-, bukansebagai pegawai, sementara dekan hanya tugas tambahansaja. Sebagai orang yang memangku jabatan dekansaya taat pada pemerintah. Rekam jejak saya selama 30tahun bekerja serta kegiatan sehari-hari saya cukupuntuk membuktikan hal tersebut. Hemat saya, pandangan dan sikap saya konsisten dan sesuai denganUU Guru dan Dosen.Kedua, sebagai dosen profesional saya memilikikebebasan akademik dan kebebasan mimbar. Sayameyakini bahwa dua kekebasan inilah satu-satunyaala

bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Supaya penjajahan tak berulang, maka bangsa ini harus cerdas. Karena itu, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas utama pemerintah. Demokrasi adalah fasilitas untuk menyelenggarakan kemerdekaan berpikir, yai tu kondisi yang diperlukan untuk menumbuhkan kecer - dasan .